Tuesday, March 13, 2012

LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID


Disusun oleh :
TRIANA ARISDIANI, S.Kep
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
2009

BAB I

TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

B. PENYEBAB

Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)
C. PATOFISIOLOGIS
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
PATHWAYS
Salmonella typhosa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran darah sistemik
Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin
usus halus
Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam
Pendarahan dan Nyeri perabaan
perforasi Mual/tidak nafsu makan
Perubahan nutrisi
Resiko kurang volume cairan
(Suriadi & Rita Y, 2001)
D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut 50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
- Berak-berak 50%
- Muntah 50%
Gejala:
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik 60%
- Letargik 60%
- Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat,1998)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
  1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
  1. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
  1. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
  • Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
  • Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
  • Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

F. TERAPI

  1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
  2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
  3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
  4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
  5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
  1. Golongan Fluorokuinolon
  • Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
  • Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
  • Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
  • Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
  • Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
  1. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)

G. KOMPLIKASI

Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)
H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID
  1. PENGKAJIAN
  1. Identitas.
Menurut T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz diperkirakan insiden demam tifoid pada tahun 1985 di Indonesia adalah sebagai berikut umur 0-4 tahun 25,32 %, umur 5-9 tahun 35,59 % dan umur 10-14 tahun 39,09%. Namun menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak merupakan hal yang tidak mudah mengingat tanda dan gejala klinis yang tidak khas terutama pada penderita di bawah usia 5 tahun. Insiden penyakit ini tidak berbeda antara anak laki dan anak perempuan, tergantung pada status gizi dan status imunologis penderita.
  1. Riwayat Keperawatan.
    1. Keluhan utama.
Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apatis sampai somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.
    1. Riwayat penyakit sekarang.
Ingesti makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau terkontaminasi dengan minuman.
    1. Riwayat penyakit dahulu.
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
    1. Riwayat kesehatan keluarga.
Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid dan menularkan kepada janin melalui darah. Umumnya bersifat fatal.
    1. Riwayat kesehatan lingkungan.
Demam tifoid saat ini terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Pengaruh cuaca terutama pada musim hujan sedangkan dari kepustakaan barat dilaporkan terutama pada musim panas.
    1. Imunisasi.
Pada tifoid kongenital dapat lahir hidup sampai beberapa hari dengan gejala tidak khas serta menyerupai sepsis neonatorium.
    1. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
    2. Nutrisi.
Gizi buruk atau meteorismus
  1. Pemeriksaan fisik.
    1. Sistem kardiovaskuler.
Takikardi, hipotensi dan shock jika perdarahan, infeksi sekunder atau septikemia.
    1. Sistem pernapasan.
Batuk nonproduktif, sesak napas.
    1. Sistem pencernaan.
Umumnya konstipasi daripada diare, perut tegang, pembesaran limpa dan hati, nyeri perut pada perabaan, bising usus melemah atau hilang, muntah, lidah tifoid dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah.
    1. Sistem genitourinarius.
Distensi kandung kemih, retensi urine.
    1. Sistem saraf.
Demam, nyeri kepala, kesadaran menurun : delirium hingga stupor, gangguan kepribadian, katatonia, aphasia, kejang.
    1. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Nyeri sendi
    1. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
    1. Sistem integumen.
Rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada dan perut, turgor kulit menurun, membran mukosa kering.
    1. Sistem pendengaran.
Tuli ringan atau otitis media.
    1. Sistem penciuman.
  1. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
    1. Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
    2. Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fosfat alkali meningkat.
    3. Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu berikutnya menurun.
    4. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
    5. Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.
  1. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran
  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
  1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
  2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung
  3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh
  1. PERENCANAAN
  1. Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan : Mempertahankan suhu dalam batas normal
Kriteria Hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal
Nadi dan RR dalam rentang normal
Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
merasa nyaman
Intervensi :
  • Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia
  • Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan
  • Beri minum yang cukup
  • Berikan kompres air biasa
  • Lakukan tepid sponge (seka)
  • Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat
  • Pemberian obat antipireksia
  • Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat
  1. Dx : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung
Tujuan : Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan
Kriteria Hasil : Adanya peningkatan BB sesuai dengan tujuan
BB ideal sesuai dengan TB
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan BB yang berarti
Intervensi :
  • Menilai status nutrisi anak
  • Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
  • Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
  • Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering
  • Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama
  • Mempertahankan kebersihan mulut anak
  • Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit
  • Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak
  1. Dx : Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh
Tujuan : Mencegah kurangnya volume cairan
Kriteria Hasil : Mempertahankan urine output sesuai dengan usia, BB,BJ
urine normal, HT normal
TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik,membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang
berlebihan
Intervensi :
  • Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam
  • Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah
  • Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama
  • Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
  • Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge
  • Memberikan antibiotik sesuai program
(Suriadi & Rita Y, 2001)
I. DISCHARGE PLANNING
  1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
  2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan
  3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
  4. Penderita memerlukan istirahat
  5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat
(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)
  1. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
  2. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
  3. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut
  4. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
(Suriadi & Rita Y, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
  1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
  1. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
  1. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
  1. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.
  1. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
  1. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
  1. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
  1. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002.
  1. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
  1. Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.
MAKANAN/MINUMAN TERKONTAMINASI
KUMAN MASUK KEDLM PEREDARAN DARAH MLL JARINGAN LIMFOID DI FARING
MLL BARIER ASAM LAMBUNG, MIKROORGANISME SAMPAI DI USUS HALUS
DI USUS HALUS ORGANISME MENGINVASI SEL EPITEL DAN TINGGAL DI LAMINA PROPIA SERTA MELEPASKAN ENDOTOKSIN
MIKROORGANISME MENGALAMI FAGOSITOSIS & BERADA DLM SEL MONONUKLEAR MASUK KE FOLIKEL LIMFOID INTESTIN/NODUS PEYER SERTA MENGADAKAN MULTIPLIKASI
SEL TERINFEKSI MLL NODUS LIMFE INTESTINAL REGIONAL DAN DUKTUS THORASIKUS MENUJU SISTEM SIRKULASI SISTEMIK & MENYEBAR SHG MENGINFEKSI SISTEM RETIKULOENDOTELIAL DI HATI & LIMPA MENYBBKAN PROLIFERASI SEL ENDOTEL DR SEL RES



JANGAN RAGU UNTUK BELAJAR SURVAY KARNA INI DI BAYAR, KLIK DISI UNTUK MENDAPATKAN KEMUDAHANYA

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates